Menambahkan Sayyidina
November 03, 2018
Add Comment
Kami awali dengan menyebutkan beberapa dalil firman Allah SWT secara mutlak menyebutkan Nabi Yahya AS dengan lafaz Sayyid dalam firman-Nya,
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (39)
“Sesungguhnya Allah menggembirakan kau dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu)”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 39). Apakah layak memakai kata Sayyid kepada Nabi Yahya AS, sementara kepada Nabi Muhammad SAW tidak memakai kata tersebut, sedangkan terang bahwa Nabi Muhammad SAW itu lebih utama dari Nabi Yahya AS dan para nabi lainnya serta seluruh makhluk, itu sudah merupakan perkara agama Islam yang telah diketahui secara pasti.
Jika kita perhatikan ayat-ayat ini secara umum, maka kita akan menemukan suatu dorongan supaya menghormati dan memuliakan Nabi Muhammad SAW, diantaranya yakni ayat, “Janganlah kau jadikan panggilan Rasul diantara kau menyerupai panggilan sebahagian kau kepada sebahagian (yang lain)”. (Qs. An-Nur [24]: 63). Ini yakni perintah dari Allah SWT, meskipun perintah ini bukan perintah yang mengandung makna wajib, akan tetapi minimal tidak kurang dari sebuah anjuran, dan mengucapkan Sayyidina Muhammad yakni salah satu bentuk penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.
Adh-Dhahhak berkata dari Ibnu Abbas, “Mereka mengatakan, ‘Wahai Muhammad’, dan ‘Wahai Abu Al Qasim’. Maka Allah melarang mereka menyampaikan itu untuk mengagungkan nabi-Nya”. Demikian juga yang dikatakan oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Qatadah berkata, “Allah memerintahkan supaya menghormati nabi-Nya, supaya memuliakan dan mengagungkannya serta memakai kata Sayyidina”. Muqatil mengucapkan kalimat yang sama. Imam Malik berkata dari Zaid bin Aslam, “Allah memerintahkan mereka supaya memuliakan Nabi Muhammad SAW”[1].
Adapun beberapa dalil dari hadits, dalam hadits berikut ini Rasulullah SAW menyebut dirinya dengan lafaz Sayyid di dunia, dia juga mengingatkan akan kepemimpinannya di alam abadi kelak dengan keterangan yang terang sehingga tidak perlu penakwilan, berikut ini kutipannya:
1. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda,
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Aku yakni Sayyid (pemimpin) anak cucu (keturunan) Adam pada hari kiamat”[2]. Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri dengan tambahan, وَلَا فَخْرَ “Bukan keangkukan”[3]. Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah, أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Aku yakni pemimpin insan pada hari kiamat”[4].
2. Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Kami melewati anutan air, kami masuk dan mandi di dalamnya, saya keluar dalam keadaan demam, hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, dia berkata, ‘Perintahkanlah Abu Tsabit supaya memohon perlindungan’. Maka saya katakan, يَا سَيِّدِي وَالرُّقَى صَالِحَةٌ ‘Wahai tuanku, bukankah ruqyah lebih baik’. Beliau menjawab, لَا رُقْيَةَ إِلَّا فِي نَفْسٍ أَوْ حُمَةٍ أَوْ لَدْغَةٍ ‘Tidak ada ruqyah kecuali pada jiwa atau demam panas atau sengatan (binatang berbisa)’.”[5] Perhatian, dalam hadits ini Sahl bin Hunaif memanggil Rasulullah SAW dengan sebutan Sayyidi dan Rasulullah SAW tidak mengingkarinya. Ini yakni dalil legalisasi dari Rasulullah SAW. Tidak mungkin Rasulullah SAW mengakui suatu perbuatan shahabat yang bertentangan dengan syariat Islam.
3. Terdapat banyak riwayat yang shahih yang menyebutkan lafaz Sayyidi yang diucapkan para shahabat. Diantaranya yakni hadits yang diriwayatkan Aisyah dalam dongeng kedatangan Sa’ad bin Mu’adz untuk memimpin di Bani Quraizhah, Aisyah berkata: قُومُوا إِلَى سَيِّدِكم فَأَنْزَلُوْهُ “Berdirilah kau untuk (menyambut) pemimpin kamu”, mereka menurunkannya”[6]. Al Khaththabi berkata dalam klarifikasi hadits ini, “Dari hadits ini sanggup diketahui bahwa ucapan seseorang kepada sahabatnya, “Ya sayyidi (wahai tuanku)” bukanlah larangan, jikalau ia memang baik dan utama. Tidak boleh mengucapkan itu kepada seseorang yang jahat”.
Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, قُومُوا لِسَيِّدِكُمْ “Berdirilah kau untuk (menyambut) pemimpin kamu”. Tanpa lafaz, “mereka menurunkannya”[7]. Berdiri tersebut yakni untuk menghormati Sa’ad RA, bukan lantaran ia sakit. Jika mereka bangkit lantaran ia sakit, maka tentunya ucapan yang dikatakan kepadanya adalah, “Berdirilah kau untuk menyambut orang yang sakit”, bukan “Berdirilah kau untuk menyambut pemimpin kamu”. Yang diperintahkan untuk bangkit hanya sebagian mereka saja, bukan semuanya.
4. Diriwayatkan dari Abu Bakarah, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW, Al Hasan bin Ali berada di sampingnya, ketika itu ia menyambut beberapa orang, dia berkata,
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya anakku ini yakni seorang pemimpin, semoga dengannya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin”[8].
5. Umar bin Al Khaththab RA berkata, أَبُو بَكْرٍ سَيِّدُنَا وَأَعْتَقَ سَيِّدَنَا يَعْنِي بِلَالًا
“Abu Bakar yakni pemimpin kami, ia telah membebaskan pemimpin kami”, yang ia maksudkan yakni Bilal[9].
6. Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa Ummu Ad-Darda’ berkata, حَدَّثَنِي سَيِّدِي أَبُو الدَّرْدَاءِ“Tuanku Abu Ad-Darda’ memberitahukan kepadaku, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, دُعَاءُ الأَخِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابٌ “Doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya itu yakni doa yang dikabulkan”[10].
7. Rasulullah SAW bersabda, الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ“Al Hasan dan Al Husein yakni dua pemimpin perjaka penghuni surga”[11].
8. Rasulullah SAW bersabda,
أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنْ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ مَا خَلَا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ
“Abu Bakar dan Umar yakni dua pemimpin orang-orang renta penghuni nirwana dari semenjak insan generasi awal hingga terakhir, kecuali para nabi dan rasul”[12].
9. Rasulullah SAW bersabda,اَلْحَلِيْمُ سَيِّدٌ فِي الدُّنْيَا وَسَيِّدٌ فِي الآخِرَةِ “Orang yang sabar itu menjadi pemimpin di dunia dan akhirat”[13].
10. Rasulullah SAW berkata kepada Fathimah Az-Zahra’ RA,
أَمَا تَرْضِيْنَ أَنْ تَكُوْنِيْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْجَنَّةِ
“Apakah engkau tidak mau menjadi pemimpin perempuan penduduk surga”[14].
11. Al Maqburi berkata, “Kami bersama Abu Hurairah, kemudian tiba Al Hasan bin Ali, ia mengucapkan salam, orang banyak membalasnya, ia pun pergi, Abu Hurairah bersama kami, ia tidak menyadari bahwa Al Hasan bin Ali datang, kemudian dikatakan kepadanya, “Ini yakni Al Hasan bin Ali mengucapkan salam”, maka Abu Hurairah menjawab, وَعَلَيْكَ يَا سَيِّدِي “Keselamatan juga bagimu wahai tuanku”. Mereka berkata kepada Abu Hurairah, “Engkau katakan ‘Wahai tuanku’?”. Abu Hurairah menjawab, أَشْهَدُ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ “Aku bersaksi bahwa Rasulullah SAW bersabda, إِنَّهُ سَيِّدٌ“Ia –Al Hasan bin Ali- yakni seorang pemimpin”[15].
Kata Sayyid dan Sayyidah dipakai pada Fathimah, Sa’ad, Al Hasan, Al Husein, Abu Bakar, Umar dan orang-orang yang sabar secara mutlak, dengan demikian maka kita lebih utama untuk menggunakannya.
Dari dalil-dalil diatas, maka jumhur ulama muta’akhkhirin dari kalangan Ahlussunnah waljama’ah beropini bahwa boleh hukumnya memakai lafaz Sayyid kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan sebagian ulama beropini hukumnya dianjurkan, lantaran tidak ada dalil yang mengkhususkan dalil-dalil dan nash-nash yang bersifat umum ini, oleh alasannya yakni itu maka dalil-dalil ini tetap bersifat umum dan lafaz Sayyid dipakai di setiap waktu, apakah di dalam shalat maupun di luar shalat.
Imam Ibnu ‘Abidin berkata dalam kitab Hasyiahnya sesuai dengan pendapat pengarang kitab Ad-Durr, Ibnu Zhahirah, Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitab Syarahnya terhadap kitab Minhaj karya Imam Nawawi dan para ulama lainnya, menurutnya, “Yang paling afdhal yakni mengucapkannya dengan lafaz Sayyid”.
Dalam kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi, halaman: 4 disebutkan, “Diriwayatkan kepada kami dari As-Sayyid Al Jalil Abu Ali Al Fudhail bin ‘Iyadh, ia berkata, ‘Tidak melaksanakan suatu amal lantaran orang banyak yakni perbuatan riya’, sedangkan melaksanakan suatu amal lantaran orang banyak yakni syirik, keikhlasan akan menciptakan Allah mengampunimu dari riya’ dan syirik itu’.” Kitab ini ditahqiq oleh Abdul Qadir Al Arna’uth, dia juga melaksanakan takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam kitab ini. Pada bab bawah, halaman: 4, no.2, dia berkata, “Di dalamnya terkandung aturan boleh memakai kata Sayyid kepada selain Allah SWT. Ada pendapat yang menyampaikan hukumnya makruh jikalau dengan abjad alif dan lam (اَلسَّيِّدُ). Ini yakni dalil boleh hukumnya memakai kata As-Sayyid kepada selain Allah SWT. Demikian klarifikasi dari Syekh Abdul Qadir Al Arna’uth dalam kitab Al Adzkar, cetakan tahun 1971M, Dar Al Mallah.
Bagi orang yang sedang melaksanakan shalat, pada ketika tasyahhud dan pada ketika membaca shalawat Al Ibrahimiah, dianjurkan supaya mengucapkan Sayyidina sebelum menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Maka dalam shalawat Al Ibrahimiah itu kita ucapan lafaz Sayyidina. Karena sunnah tidak hanya diambil dari perbuatan Rasulullah SAW, akan tetapi juga diambil dari ucapan beliau. Penggunaan kata Sayyidina ditemukan dalam banyak hadits Nabi Muhammad SAW. Ibnu Mas’ud memanggil dia dalam bentuk shalawat, ia berkata, “Jika kau bershalawat kepada Rasulullah SAW, maka bershawalatlah dengan baik, lantaran kau tidak mengetahui mungkin shalawat itu diperlihatkan kepadanya”. Mereka berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Ajarkanlah kepada kami”. Ibnu Mas’ud berkata, “Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِينَ
وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ
“Ya Allah, jadikanlah shalawat, rahmat dan berkah-Mu untuk pemimpin para rasul, imam orang-orang yang bertakwa, epilog para nabi, Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Mu …”[16].
Dalam kitab Ad-Durr Al Mukhtar disebutkan, ringkasannya, “Dianjurkan mengucapkan lafaz Sayyidina, lantaran perhiasan terhadap gosip yang sebetulnya yakni inti dari budpekerti dan sopan santun. Dengan demikian maka menggunakannya lebih afdhal daripada tidak menggunakannya. Disebutkan Imam Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitab Syarhnya terhadap kitab Al Minhaj karya Imam Nawawi, demikian juga disebutkan oleh para ulama lainnya.
Memberikan perhiasan kata Sayyidina yakni sopan santun dan tata krama kepada Rasulullah SAW. Allah berfirman, “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (Qs. Al A’raf [7]: 157). Makna kata At-Ta’zir yakni memuliakan dan mengagungkan[17]. Dengan demikian maka penetapannya berdasarkan Sunnah dan sesuai dengan isi kandungan Al Qur’an. Sebagian ulama beropini bahwa budpekerti dan sopan santun kepada Rasulullah SAW itu lebih baik daripada melaksanakan suatu amal. Itu yakni argumentasi yang baik, dalil-dalilnya berdasarkan hadits-hadits shahih yang terdapat dalam kitab Shahih Al Bukhari dan Muslim, diantaranya yakni ucapan Rasulullah SAW kepada Imam Ali,
امْحُ رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: لَا وَاللَّهِ لَا أَمْحُوكَ أَبَدًا “Hapuslah kalimat, ‘Rasulul (utusan) Allah’.” Imam Ali menjawab, “Tidak, demi Allah saya tidak akan menghapus engkau untuk selama-lamanya”[18].
Ucapan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar,
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apa yang mencegahmu untuk menetap ketika saya memerintahkanmu?”. Abu Bakar menjawab, “Ibnu Abi Quhafah tidak layak melaksanakan shalat di depan Rasulullah SAW”[19].
Adapun hadits yang sering disebutkan banyak orang yang berbunyi, لَا تُسَيِّدُوْنِيْ فِي الصَّلاَةِ “Janganlah kau memakai kata Sayyidina pada namaku dalam shalat”. ini yakni hadits maudhu’ dan dusta, dihentikan dianggap sebagai hadits. Al Hafizh As-Sakhawi berkata dalam kitab Al Maqashid Al Hasanah, “Hadits ini tidak ada asalnya”. Juga terdapat kesalahan bahasa dalam hadits ini, lantaran asal kata ini yakni سَادَ يَسُوْدُ jadi kalimat yang benar yakni تَسُوْدُوْنِيْ.[20] Cukuplah demikian bagi orang yang mau mendapatkan dalil, walhamdulillah rabbil ‘alamin.
Sumber: al-Mausu'ah al-Yusufiyyah
[1] Tafsir Ibnu Katsir (3/306).
[2] HR. Muslim (5899), Abu Daud (4673) dan Ahmad (2/540).
[3] HR. Ahmad (3/6), secara panjang lebar. At-Tirmidzi (3148), secara ringkas. Ibnu Majah (4308).
[4] HR. Al Bukhari (3340), Muslim (479), At-Tirmidzi (2434), Ahmad (2/331), Ibnu Majah (3307), Asy-Syama’il (167), Ibnu Abi Syaibah (11/444), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid, hal.242-244, Ibnu Hibban (6265), Al Baghawi (4332), An-Nasa’i dalam Al Kubra, Tuhfat Al Asyraf (10/14957).
[5] HR. Ahmad (3/486), Abu Daud (3888), An-Nasa’i dalam ‘Amal Al Yaum wa Al-Lailah (257), Al Hakim (4/413), ia berkata, “Hadits shahih”, disetujui oleh Adz-Dzahabi.
[6] HR. Ahmad dengan sanad yang shahih (3/22), Al Bukhari (3043), dalam Al Adab Al Mufrad (945), Muslim (4571) dan Abu Daud (5215).
[7] HR. Al Bukhari (3043), Abu Daud (5215) dan Ahmad (3/22).
[8] HR. Al Bukhari (3/31) dan At-Tirmidzi (3773).
[9] HR. Al Bukhari (3/32).
[10] HR. Muslim (15/39).
[11] HR. At-Tirmidzi (3768), ia berkata, “Hadits hasan shahih”. Imam As-Suyuthi menunjukkan tanda hadits shahih.
[12] HR. At-Tirmidzi (3664).
[13] HR. As-Suyuthi dalam Al Jami’ Ash-Shaghir (3831).
[14] HR. At-Tirmidzi (3781).
[15] HR. Ath-Thabrani dalam Al Kabir (2596), para periwayatnya yakni para periwayat yang tsiqah, Majma’ Az-Zawa’id (15049).
[16] HR. Ibnu Majah dalam As-Sunan (1/293).
[18] HR. Al Bukhari (7/499) dan Muslim (3/1409).
[19] HR. Al Bukhari (2/167), Fath Al Bari, Muslim (1/316).
[20] Al Maqashid Al Hasanah, hal.463, no.1292.
Sumber http://somadmorocco.blogspot.com/
0 Response to "Menambahkan Sayyidina"
Post a Comment