Komentar Terhadap Risalah Hj.Shaari Hj.Mohd. Yusof
November 03, 2018
Add Comment
Pada hari Sabtu 29 November 2014, salah seorang jamaah memberikan satu risalah kepada saya berjudul Ilmu Ma’rifat Tok Kenali Kelantan, kumpulan goresan pena Hj. Shaari Hj. Mohd Yusof. Saya diminta memperlihatkan komentar atas risalah ini berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Komentar Saya:
Pertama, Tok Kenali ialah salah seorang ulama besar dari Kelantan (Malaysia), berguru agama Islam hingga ke Makkah al-Mukarramah. Semasa di Makkah, dia satu angkatan dengan mufti kerajaan Indragiri (Riau) berjulukan Syekh Abdurrahman Shiddiq. Seorang peneliti dari Malaysia berjulukan Wan Mohd. Shaghir Abdullah saat menulis biografi Syekh Abdurrahman Shiddiq ada menyebutkan, “Sahabatnya yang lain ialah Haji Abdullah Fahim (lahir 1286H/1869M, Tok Kenali (lahir 1287H/1871M)”. (Wan Modh. Shaghir Abdullah, Ulama Nusantara). Mereka ialah para ulama yang benar dalam memberikan risalah Islam ke negeri Melayu. Adapun aliran yang diklaim sebagai Ma’rifat Tok Kenali ini mustahil diajarkan seorang ulama besar menyerupai Tok Kenali, apalagi silsilah Hj.Shaari tidak jelas, pada halaman 20 dia sebutkan, “Datuk saya almarhum al-‘arif billah al-waliyullah Tok Awang sewaktu dia mendapatkan ilmu ini dari salah seorang anak murid Tok Kenali yang tiba ke Penang erat masjid Indai (kalau saya tidak salah). Tapi nama anak murid Tok Kenali ini kami anak cucu Tok Awang tak ingat namanya”. Dalam silsilah keilmuan Islam, amat sangat penting validitas data, dari mana ilmu itu diperoleh. Bahkan para ulama tarekat amat sangat menjaga silsilah guru-guru mereka, lantaran dalam dunia Tasauf dinyatakan,
من لا شيخ له فالشيطان شيخه
“Siapa yang tidak mempunyai Syaikh (tidak berguru), maka setan lah gurunya”. (Ibnu ‘Ajibah, Iqazh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, hal.57). Banyak orang memanfaatkan nama besar ulama untuk mengklaim kebenaran ajarannya. Ini terjadi pada Imam al-Ghazali, seseorang menulis kitab berjudul al-Aufaq, isinya mantra dan sihir, kemudian ia nisbatkan kepada Imam al-Ghazali, ternyata itu palsu. Itu juga terjadi pada Imam as-Suyuthi, ada kitab berjudul al-Kibrit al-Ahmar, kitab mantra dan sihir sesat, dinisbatkan kepada Imam as-Suyuthi, untuk mensugesti masyarakat awam yang haus ilmu tapi jahil, gampang terpedaya. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan memperlihatkan mereka hidayah ke jalan yang benar. Amin.
Kedua, Hj. Shaari Hj.Mohd Yusof aneka macam menulis hadits palsu,
Pada halaman 28, Shaari menulis: “Dalam hadis “ana araftu Rabbi Birabbi” (aku mengenal yang kuasa dengan tuhanku”.
Padahal ini bukan hadits, ini ialah ucapan Dzun Nun al-Mishri.
Demikian disebutkan Imam al-Qusyairi dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah halaman: 142.
Demikian juga disebutkan Imam Ibnu ‘Ajibah dalam Iqazh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, halaman: 180.
Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, juz.IV halaman: 257 menyebut ini ucapan ulama Tasawuf.
Dalam Syarh al-Hikam al-‘Atha’iyyah halaman 115 ini disebut hanya pendapat ulama Tasawuf.
Kalau memang Hj.Shaari menyerupai pernyataannya telah menerima Ma’rifat, mengapa “Allah” Hj.Shaari itu membisu sahaja saat Hj.Shaari berbuat salah?!
Bukankah membisu terhadap kebenaran itu perbuatan setan?!
من سكت عن الحق فهو شيطان اخرس
“Diam terhadap kebenaran ialah setan bisu”. (Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz.2, halaman: 20).
Jelaslah bahwa yang dirasakan Hj.Shaari dalam Makrifatnya itu ialah setan bisu. Kerana, kalau benar dia Allah, pastilah dia akan beritahu Hj.Shaari:
أخطأت يا ساري، الذي ذكرته ليس بحديث
Kalau Hj.Shaari dihentikan bahasa Arab, tentu Allah boleh bagi pandangan gres bahasa melayu, “Korang salah tau, tu bukan hadis! Tu cakap Dzun Nun al-Mishri. Belaja lah sikit, gres jadi tuk guru. Awak ni menengade lah”.
Bukan itu saja,
Hj.Shaari menulis lagi di halaman: 29, berpandukan sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits, “Barang siapa mengenal diri, maka akan kenallah ia akan Allah”.
Tuan Hj.Shaari, itu bukan hadits, cuba tengok cakap Imam as-Suyuthi,
إن هذا الحديث ليس بصحيح وقد سئل عنه النووي في فتاويه فقال أنه ليس بثابت وقال ابن تيمية وقال الزركشي في الأحاديث المشتهرة ذكر ابن السمعاني أنه من كلام يحيى بن معاذ الرازي.
Riwayat ini tidak shahih. Imam an-Nawawi pernah ditanya ihwal hadits ini dalam fatwanya, dia menjawab, “Tidak kuat”. Ibnu Taimiah dan az-Zarkasyi berkata dalam kumpulan hadits populer, “Ibnu as-Sam’ani menyebutkan bahwa ini ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Razi” (Imam as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, juz.III, hal.355).
Hj. Shaari menulis lagi di halaman: 30, “Berpandukan sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadis, “Matilah diri kau sebelum kau mati”.
Ini bukan hadits, demikian dinyatakan para ulama jago hadits dalam:
· Asna’ al-Mathalib fi Ahadits Mukhtalif al-Maratib, Muhammad bin Darwisy bin Muhammad al-Hut, halaman: 295.
· Al-Asrar al-Marfu’ah fi Ahadits al-Maudhu’ah, Imam Mulla ‘Ali al-Qari, halaman: 363.
· Al-Jadd al-Hatsits fi Bayan Ma Laisa bi Hadits, Imam al-‘Amiri, halaman: 240.
· Al-Fawa’id al-Maudhu’ah fi Ahadits al-Maudhu’ah, al-Karami, halaman: 140.
· Al-Lu’lu’ al-Marshu’, Muhammad bin Khalil bin Ibrahim al-Masyisyi at-Tharablusi, halaman: 204.
· Al-Mashnu’ fi Ma’rifati al-Hadits al-Maudhu’, al-Qari, halaman: 198.
· Al-Maqashid al-Hasanah, as-Sakhawi, halaman: 682.
· An-Nukhbah al-Bahiyyah fi al-Ahadits al-Makhdzubah ‘ala Khair al-Bariyyah, al-‘Allamah Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki, halaman: 20.
· Kasyf al-Khafa’, al-‘Ajluni, Juz.2, halaman: 291.
Hj.Shaari ulang lagi di halaman: 32.
Hj.Shaari ulang lagi di halaman: 37.
Hj.Shaari ulang lagi di halaman: 48.
Ingat Tuan Hj.Shaari !!!
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Siapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka siapkanlah kawasan duduk dari api neraka”. (Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga, menafikan al-Qur’an, Sunnah dan ulama.
Pada halaman: 20 Hj.Shaari menulis: “Mengenal Allah itu tidak sekali-kali melalui bimbingan guru, malaikat atau bimbingan al-Qur’an”.
Kalimat ini jelas-jelas batil. Karena hanya al-Qur’an, Sunnah dan Ulama sajalah jalan mengenal Allah Swt. Itulah sumber yang terpercaya. Lain daripada itu ialah batil, kalau tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah Saw bersabda,
" تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما : كتاب الله وسنتي ولن يتفرقا حتى يردا على الحوض "
[ رواه مالك بلاغا والحاكم موصلا بإسناد حسن ]
“Aku tinggalkan kepada kau dua perkara, kau tidak akan sesat selama kau berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnahku. Tidak akan terpisah hingga tiba ke telaga (Muhammad Saw)”. (HR. Malik dan al-Hakim).
Keempat, Hj.Shaari menjelaskan Ma’rifat dengan rasa.
Kita lihat klarifikasi ulama ihwal ma’rifat (pengenalan/pengetahuan ihwal sesuatu. Ma’rifatullah berarti pengetahuan ihwal Allah). Berikut kutipan dari kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah:
أخبرنا محمد بن يحيى الصوفي، قال: أخبرنا عبد الله بن علي التميمي الوصفي، يحكى عن الحسين بن علي الدامغاني، قال: سئل أبو بكر الزاهر اباذي عن المعرفة، فقال: المعرفة: اسم، ومعناه وجود تعظيم في القلب يمنعك عن التعطيل والتشبيه.
Muhammad bin Yahya as-Shufi memberitakan kepada kami, Abdullah bin Ali at-Tamimi al-Washfi memberitakan kepada kami, ia ceritakan dari al-Husain bin Ali ad-Damighani, ia berkaa, “Abu Bakar az-Zahir Abazi ditanya ihwal Ma’rifat, ia menjawab, “Ma’rifat ialah nama. Maknanya: adanya pengagungan (terhadap Allah) di dalam hati, sehingga sanggup mencegah ta’thil (menafikan Allah) dan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hal.2).
Hj.Shaari menjelaskan dalam risalahnya bahwa Ma’rifat itu cukup dengan rasa.
Lihat apa kata jago Ma’rifat, Imam al-Ghazali:
وإنما الوصول إليه بالمجاهدة التي جعلها الله سبحانه مقدمة للهداية حيث قال تعالى والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين
Mencapai Ma’rifah itu dengan al-Mujahadah (kesungguhan amal) yang dijadikan Allah sebagai jalan menuju hidayah dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami Dan bergotong-royong Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (Qs. al-‘Ankabut: 69). (Ihya’ ‘Ulumiddin, al-Ghazali: juz.I, hal. 23).
Kelima, di banyak halaman Hj.Shaari mengejek Feqah (ilmu fiqh/ilmu ritual ibadah).
Saya khawatir, inilah kelompok yang dikhawatirkan Imam al-Ghazali, kelompok yang mengaku telah hingga kepada Ma’rifat, kemudian menyepelekan Fiqh. Termauk satu diantara tujuh puluh sekian kelompok sesat. Lihat pernyataan al-Ghazali:
وظن طائفة أن المقصود من العبادات المجاهدة حتى يصل العبد بها إلى معرفة الله تعالى فإذا حصلت المعرفة فقد وصل وبعد الوصول يستغني عن الوسيلة والحيلة فتركوا السعي والعبادة وزعموا أنه ارتفع محلهم في معرفة الله سبحانه عن أن يمتهنوا بالتكاليف وإنما التكليف على عوام الخلق ووراء هذا مذاهب باطلة وضلالات هائلة يطول إحصاؤها إلى ما يبلغ نيفا وسبعين فرقة وإنما الناجي منها فرقة واحدة وهي السالكة ما كان عليه رسول الله صلى الله عليه و سلم وأصحابه وهو أن لا يترك الدنيا بالكلية ولا يقمع الشهوات بالكلية
Ada satu kelompok menyangka bahwa yang dimaksud dengan ibadah ialah mujahadah hingga hingga kepada Ma’rifat. Jika telah hingga kepada Ma’rifat, maka ia pun telah hingga (pada tujuan). Setelah sampai, maka tidak perlu lagi wasilah (jalan) dan usaha. Mereka pun meninggalkan perjuangan dan ibadah. Mereka menyatakan bahwa kedudukan mereka telah tinggi dalam Ma’rifat sehingga mereka merasa tidak perlu lagi dibebani ibadah, lantaran ibadah itu hanya bagi orang awam saja. Di balik kelompok ini ialah aliran batil dan sesat, terlalu banyak untuk dihitung, hingga hingga tujuh puluh sekian kelompok banyaknya. Yang selamat hanya satu kelompok saja, yaitu jalan yang dilalui Rasulullah Saw dan para shahabat, yaitu jalan tidak meninggalkan dunia secara keseluruhan dan tidak pula membuang nafsu secara keseluruhan. (Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, juz.III, hal.230).
Keenam, Hj.Shaari menakwilkan yang tidak perlu ditakwilkan. Memang ada metode takwil yang biasa digunakan jago takwil, tapi yang ditakwilkan itu memang yang perlu penakwilan. Adapun ayat-ayat yang sudah qath’i ad-Dilalah menyerupai anjing dan babi tidak perlu ditakwilkan. Tapi Hj.Shaari mentakwilkan anjing dan babi. Di halaman 63 Hj.Shaari menyebutkan, “Dalam pengajian ilmu ma’rifat itu kita dihentikan menzalimi anjing mahupun babi… anjing dan babi itu ialah kiasan atau tamsil”.
Mentakwil anjing dan babi ini berbahaya, lantaran ayat itu Qath’i ad-Dilalah, tidak perlu penakwilan. Ini bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Karena yang dimaksud anjing dan babi dalam al-Qur’an itu ialah babi, bukan anjing dan babi versi Hj.Shaari.
Imam ibnu Katsir menyebutkan,
فلما كلمه الحَبْران قال لهما رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أسْلِمَا" قالا قد أسلمنا. قال: "إنَّكُمَا لَمْ تُسْلِمَا فأسْلِما" قالا بلى، قد أسلمنا قبلك. قال: "كَذَبْتُمَا، يمْنَعُكُمَا مِنَ الإسْلامِ دُعَاؤكُما لله ولدا، وَعِبَادَتُكُمَا الصَّلِيبَ وأكْلُكُمَا الخِنزيرَ".
Ketika kedua pendeta berbicara kepada Rasulullah Saw, Rasulullah Saw berkata kepada kedua pendeta itu, “Masuk Islam lah kalian berdua”. Mereka menjawab, “Kami sudah masuk Islam”. Rasulullah Saw berkata, “Kalian belum masuk Islam, maka masuk Islam lah kamu”. Mereka berdua menjawab, “Kami sudah masuk Islam. Kami sudah masuk Islam sebelum engkau wahai Muhammad”. Rasulullah Saw menjawab, “Kalian berdua sudah berdusta. Yang mencegah kalian masuk Islam ialah lantaran kalian menyampaikan Allah punya anak, kalian menyembah salib dan memakan babi”. (Tafsir Ibnu Katsir, juz.II, hal.51). benar-benar makan babi, hingga sekarang. Tidak perlu penakwilan. Oleh lantaran itu Rasulullah Saw menyatakan bahwa Nabi Isa akan tiba membunuh babi. Rasulullah Saw bersabda,
وَاللَّهِ لَيَنْزِلَنَّ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَادِلًا فَلَيَكْسِرَنَّ الصَّلِيبَ وَلَيَقْتُلَنَّ الْخِنْزِيرَ
“Demi Allah, akan turun Isa putra Maryam sebagai pemimpin yang adil. Ia akan menghancurkan salib dan akan membunuh babi”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Tentang anjing, tidak perlu ditakwilkan, lantaran hadits sudah jelas, Rasulullah Saw bersabda,
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Siapa yang memelihara anjing, bukan anjing untuk berburu dan bukan pula untuk menjaga ternak, maka akhir pahala amalnya berkurang setiap hari dua Qirath (dua bukit yang besar)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Bukan hanya sekedar memelihara, hasil penjualannya juga haram berdasarkan hadits,
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud al-Anshari, bergotong-royong Rasulullah Saw melarang: hasil penjualan anjing, upah perempuan tunasusila dan upah dukun. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pendapat Imam an-Nawawi,
وأما اقتناء الكلاب فمذهبنا أنه يحرم اقتناء الكلب بغير حاجة ويجوز اقتناؤه للصيد وللزرع وللماشية
Adapun memelihara anjing, maka berdasarkan mazhab kami (Mazhab Syafi’i): haram hukumnya memelihara anjing tanpa ada kebutuhan. Boleh memelihara anjing untuk berburu, menjaga tanaman dan menjaga ternak. [Imam an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj, juz.X (Dar Ihya’ at-Turats, Beirut), hal.236].
Ketujuh, dalam debat, yang pertama dilihat ialah kapasitas keilmuan lawan. Para ulama di al-Azhar tidak akan melayani Hj.Shaari lantaran kejahilannya dalam dasar-dasar agama Islam. Berkali-kali hingga tidak terhitung dia menulis Zuk, Zuk, Zuk, hingga lelah mata melihatnya. Padahal itu dari bahasa Arab ( ذوق ) Dzauq, artinya rasa. Nampak Hj.Shaari tidak belajar. Sedangkan Tok Kenali berguru hingga ke Makkah al-Mukarramah. Kasihan Tok Kenali dipercaya orang macam Hj.Shaari. yang lebih kasihan lagi ialah orang-orang yang ikut Hj.Shaari.
Pada halaman 20 dia sebutkan, “Datuk saya almarhum al-‘arif billah al-waliyullah Tok Awang”. Kalimat al-Waliyullah (الولي الله ) ialah kesalahan fatal yang termaafkan. Tapi orang-orang yang sudah tertelan celoteh Hj.Shaari susah menolak itu, lantaran Rasulullah Saw pernah bersabda,
حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ
“Kekagumanmu terhadap sesuatu membuatmu buta dan bisu”. (HR. Abu Daud). saya berharap Allah membukakan mata dan hati orang-orang yang mencari kebenaran tidak terkecoh dengan permainan kata Hj.Shaari. Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber http://somadmorocco.blogspot.com/
0 Response to "Komentar Terhadap Risalah Hj.Shaari Hj.Mohd. Yusof"
Post a Comment